Restart Kenyamanan itu Perlu
Apa rasanya kalau komputer kita baru di restart kemudian dipakai lagi? Jadi tambah ringan dan lebih cepat kan? Nah. Coba kalau yang direstart adalah rutinitas kita atau kehidupan kita.
Di perang dunia II, ada sebuah cerita menarik dari seorang tokoh sentral di perang tersebut, namanya Jenderal Douglas MacArthur. Nah, saat pertama kali dirinya ditugaskan untuk melanglang buana ke Pasifik, asisten si Jendral tadi membawakan satu buah buku tebal yang isinya tentang ringkasan strategi, metode, dan catatan perang lainnya dari jenderal sebelumnya.
Nah, kemudian si MacArthur bertanya ke asistennya tadi, “Ada berapa banyak buku seperti ini?”. Asistennya menjawab, "Ada enam, Jendral,"
Sang Jendral MacArthur pun lalu memerintahkan asistennya, “Baik, ambil keenam bukunya, lalu bakarlah semuanya.” Katanya, “I’ll not be bound by precedents. Any time a problem comes up, I’ll make the decision at once—immediately.” Tanpa bertanya dan membangkang, sang asisten pun langsung membakar enam buku tadi. Sang Jendral MacArthur memang terkenal suka melatih dirinya untuk bereaksi dan beradaptasi pada lingkungan dan kondisi baru. Dan siapa sangka, strategi ini terbukti manjur.
Ya, bagi orang-orang yang berjiwa survival, kenyamanan itu seperti jebakan. Bahkan bisa membunuh otak kita. Kondisi nyaman seringkali membuat kita bereaksi lebih lamban dan malas dalam beradaptasi. Padahal lingkungan di sekitar kita terus berubah. Secara fisik, pada dasarnya manusia membutuhkan sebuahendurance, struggle, dan scratching. Kenyamanan nggak memberikan itu semua. Hal ini nggak jauh bedan dengan jutaan sel dalam tubuh kita yang mati-tumbuh-berkembang secara kontinu. Ya, secara psikologis kita harus re-create our self.
Ada lagi cerita dari salah seorang sastrawan besar Rusia, Fyodor Dostoyevsky. Ia punya kebiasaan lebih unik lagi, yaitu kalau ia berhasil menyelesaikan sebuah novel dan mendapatkan banyak uang dari penjualan novelnya, ia akan menghabiskan uang tersebut di Kasino. Dostoyevsky nggak bakal pulang ke rumah sebelum duitnya habis. Hahaha.
Karena, bagi seorang Dostoyevsky, sense of financial insecurity inilah yang seringkali menjadi cambuk bagi dirinya untuk menulis karya hebat lagi. Bagi seorang Dostoyevsky, kemapanan justru membuat potensinya nggak bisa keluar dengan maksimal.
Nah, setelah membaca beberapa cerita tadi, sungguh ada baiknya kalau kita sesekali berhenti sejenak dari perjalanan kita, lalu periksa kondisi mesin kendaraan kita. Kalau bensinnya kurang, diisi. Atur ulang GPS kita, kemudian sesuaikan dengan peta tujuan kita. Setelah itu, kita mulai lagi perjalanan kita. Ya, bagi banyak orang, kenyamanan dan kemapanan lebih berpotensi untuk membuat kita lamban, malesan, dan kurang peka dengan perubahan.
Misalnya nih, kalau selama ini kita sudah nyaman dengan pekerjaan kita, ada baiknya kita mencoba pindah ke industri lain atau ke daerah yang berbeda. Kalau selama ini kita berteman dengan itu-itu saja, ada baiknya kita mencoba membuka jaringan dan pertemanan yang baru, tanpa melupakan teman lama. Kalau kita sudah terlalu mapan, ada baiknya kita nyobain pindah ke kota/negara lain. Kalau kita sudah terbiasa dengan hobi tertentu, ada baiknya kita coba hobi yang baru.
Dan kita nggak perlu se ekstrim apa yang dilakukan oleh Dostoyevsky dengan menghambur-hamburkan uangnya tadi. Tapi, satu hal yang perlu kita pertimbangkan, ada kalanya kita harus sesekali me-restart kembali diri kita.
Comments
Post a Comment